Jumat, 15 Februari 2008

MENGATASI SUMBATAN JALAN NAPAS OLEH BENDA ASING

Oleh: Rohman Azzam


Metode

  1. Abdominal Thrust
  2. Chest Thrust
  3. Back Blow

Indikasi

Untuk menghilangkan obstruksi di jalan napas atas yang disebabkan oleh benda asing & yg ditandai oleh beberapa atau semua dari tanda dan gejala berikut ini:

1. Secara mendadak tidak dapat berbicara.

2. Tanda-tanda umum tercekik—rasa leher tercengkeram

3. Bunyi berisik selama inspirasi.

4. Penggunaan otot asesoris selama bernapas dan peningkatan kesulitan bernapas.

5. Sukar batuk atau batuk tidak efektif atau tidak mampu utk batuk.

6. Tidak terjadi respirasi spontan atau sianosis

7. Bayi dan anak dg distres respirasi mendadak disertai dg batuk, stidor atau wizing.

Kontraindikasi dan Perhatian

  1. Pada klien sadar, batuk volunter menghasilkan aliran udara yg besar dan dapat menghilangkan obstruksi.
  2. Chest thrust hendaknya tidak digunakan pada klien yg mengalami cedera dada, seperti flail chest, cardiac contusion, atau fraktur sternal (Simon & Brenner, 1994).
  3. Pada klien yg sedang hamil tua atau yg sangat obesitas, disarankan dilakukan chest thrusts.
  4. Posisi tangan yg tepat merupakan hal penting untuk menghindari cedera pada organ-organ yang ada dibawahnya selama dilakukan chest thrust.

Peralatan

  1. Suction oral, jika tersedia.
  2. Magill atau Kelly forcep dan laryngoscope (utk mengeluarkan benda asing yg dapat dilihat di jalan napas atas).

Persiapan Klien

  1. Posisi klien—duduk, berdiri atau supine.
  2. Suction semua darah/mukus yg terlihat dimulut klien.
  3. Keluarkan semua gigi yg rusak/tanggal.
  4. Siapkan utk dilakukan penanganan jalan napas yg definitif, misalnya cricothyrotomi.

Tahapan Prosedur Abdominal Thrust

  1. Jika pasien dlm keadaan berdiri/duduk:
    1. Anda berdiri di belakang klien
    2. Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan terkepal, kemudian pegang lengan kanan tsb dg lengan kiri. Posisi lengan anda pd abdomen klien yakni dibawah prosesus xipoideus dan diatas pusat/umbilikus.
    3. Dorong secara cepat (thrust quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah dalam-atas.
    4. Jika diperlukan, ulangi abdominal thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
    5. Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.

  1. Jika pasien dlm keadaan supine/unconcious:
    1. Anda mengambil posisi berlutut/mengangkangi paha klien.
    2. Tempatkan lengan kiri anda diatas lengan kanan anda yg menempel di abdomen tepatnya di bawah prosesus xipoideus dan diatas pusat/umbilikus.
    3. Dorong secara cepat (thrust quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah dalam-atas.
    4. Jika diperlukan, ulangi abdominal thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
    5. Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
  2. Jika mungkin, lihat secara langsung mulut dan paring klien dengan laringoskopi dan jika tampak utamakan mengekstraksi benda asing tersebut menggunakan Kelly atau Megil forcep.

Tahapan Prosedur Chest Thrust

  1. Jika posisi klien duduk/ berdiri:
    1. Anda berdiri di belakang klien
    2. Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan terkepal di area midsternal di atas prosesus xipoideus klien (sama seperti pada posisi saat kompresi jantung luar).
    3. Lakukan dorongan (thrust) lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi chest thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
    4. Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.

  1. Jika posisi klien supine:
    1. Anda mengambil posisi berlutut/mengangkangi paha klien.
    2. Tempatkan lengan kiri anda diatas lengan kanan anda dan posisikan bagian bawah lengan kanan anda pada area midsternal di atas prosesus xipoideus klien (sama seperti pada posisi saat kompresi jantung luar).
    3. Lakukan dorongan (thrust) lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi chest thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
    4. Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
  2. Jika mungkin, lihat secara langsung mulut dan paring klien dengan laringoskopi dan jika tampak utamakan mengekstraksi benda asing tersebut menggunakan Kelly atau Megil forcep.

Tahapan Prosedur Back Blow & Chest Thrust (untuk Bayi <>

  1. Bayi diposisikan prone diatas lengan bawah anda, dimana kepala bayi lebih rendah dari pada badannya.
  2. Topang kepala bayi dengan memegang rahang bayi.
  3. Lakukan 5 kali back blow dengan kuat antara tulang belikat menggunakan tumit tangan anda.
  4. Putar bayi ke posisi supine, topang kepala dan leher bayi dan posisikan di atas paha.
  5. Tentukan lokasi jari setingkat dibawah nipple bayi. Tempatkan jari tengah anda pada sternum dampingi dengan jari manis.
  6. Lakukan chest thrust dengan cepat.
  7. Ulangi langkah 1-6 sampai benda asing keluar atau hilangnya kesadaran.
  8. Jika bayi kehilangan kesadaran, buka jalan napas dan buang benda asing jika ia terlihat. Hindari melakukan usapan jari secara “membuta” pada bayi dan anak, karena benda asing dapat terdorong lebih jauh ke dalam jalan napas.

Tahapan Prosedur Back Blow & Chest Thrust (untuk Anak 1-8 th)

  1. Untuk klien yg berdiri/duduk:

a. Posisi anda dibelakang klien.

b. Tempatkan lengan anda dibawah aksila, melingkari tubuh korban

c. Tempatkan tangan anda melawan abdomen klien, sedikit di atas pusar dan dibawah prosesus xipoideus.

d. Lakukan dorongan ke atas (upward thrusts) sampai benda asing keluar atau pasien kehilangan kesadaran.

  1. Utk klien pada posisi supine:

a. Posisi anda berlutut disamping klien atau mengangkangi paha klien.

b. Tempatkan lengan anda di atas pusar & dibawah prosesus xipoideus.

c. Lakukan thrust ke atas dengan cepat, dengan arah menuju tengah-tengah dan tidak diarahkan ke sisi abdomen.

d. Jika benda asing terlihat, keluarkan dengan menggunakan sapuan jari tangan.

Attention !!!

  • Back blow tidak direkomendasikan pada pasien diatas usia bayi.
  • Sapuan jari “membuta” harus dihindari pada bayi dan anak, sebab kemungkinan dapat mendorong benda asing lebih kebelakang ke dalam jalan napas.

Komplikasi

  1. Nyeri abdomen, ekimosis
  2. Mual, muntah
  3. Fraktur iga
  4. Cedera/trauma pada organ-organ dibawah abdomen/dada.

Pendidikan Kesehatan untuk Klien

  1. Makan perlahan
  2. Potong makanan menjadi kecil-kecil
  3. Kunyah mkanan hingga halus
  4. Jangan mengobrol dan tertawa saat mengunyah
  5. Pastikan gigi/gigi palsu anda baik
  6. Duduk saat makan
  7. Jaga makanan/mainan yang berukuran kecil/keras seperti kacang, agar jauh dari jangkauan anak di bawah 3 tahun
  8. Larang anak berjalan atau lari saat makan utk menurunkan kemungkinan aspirasi

Daftar Pustaka

Proehl, J.A. (1999). Eemergency nursing procedures. (2nd ed.). Philadelphia: W.B. Saunder Company.

Further Reading:

American Heart Association. (1994). Basic life support for healthcare providers. Dallas: Author.

Simon, R., & Brenner, B. (1994). Emergency procedures and techniques. (3rd ed.). Baltimore: William & Wilkins.

NEBULIZER THERAPY

Rohman Azzam, S.Pd., S.Kep., Ns.

Sinonim

1. Neb

2. Updraft

3. SVN (small-volume nebulizer)

4. Acorn neb

Indikasi Nebulizer Therapy

Utk memberikan medikasi secara langsung pada saluran napas utk mengobati, berikut ini:

1. Bronchospasme akut

2. Produksi mukus yang berlebihan

3. Batuk dan sesak napas

4. Epiglotitis

Keuntungan Nebulizer Therapy

1. Medikasi dapat diberikan langsung pada tempat/sasaran aksinya (spt paru) oleh karena itu dosis yang diberikan rendah.

2. Dosis yg rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.

3. Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat dari pada rute lainnya seperti subkutan atau oral.

4. Udara yang dihirup melalui nebulizer telah lembab, yang dapat membantu mengeluarkan sekresi bronchus

Perhatian dan Kontraindikasi

1. Pasien yg tidak sadar atau confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini, membutuhkan pemakaian mask/sungkup; tetapi mask efektivitasnya berkurang secara signifikan.

2. Medikasi nebulizer kontraindikasi pada keadaan dimana suara napas tidak ada atau berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer diberikan melalui endotracheal tube yang meggunakan tekanan positif. Pasien dengan penurunan pertukaran gas juga tidak dapat menggerakan/memasukan medikasi secara adekuat ke dalam saluran napas.

3. Pemakaian katekolamin pada pasien dengan cardiac iritability harus dengan perhatian. Ketika diinhalasi, katekolamin dapat meningkatkan cardiac rate dan dapat menimbulkan disritmia.

4. Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui intermittent positive-pressure breathing (IPPB), sebab IPPB mengiritasi dan meningkatkan bronchospasme.

Peralatan

1. Nebulizer dan tube penghubung (connecting tube).

2. Tube berkerut, pendek

3. Cannula oksigen

4. Sumber kompresi gas (oksigen atau udara) atau kompresor udara.

5. Medikasi/obat yang akan diberikan melalui nebulizer (Lihat Tabel)

Tabel medikasi nebulizer

Nama Generik

Tipe Obat

Nama Dagang

Isoproterenol hydrochloride, isoproterenol sulfate

Bronchodilator

Isuprel

Isoetharine, isoetharine hydrokloride

Bronchodilator

Bronkosol

Metaproterenol

Bronchodilator

Alupent

Albuterol

Bronchodilator

Ventolin

Proventil

Cromolyn sodium

Mast cell stabilizer

Antiasthma

Intal

Ipratropium

Anticholinergic

Bronchodilator

Atrovent

Persiapan Pasien

1. Tempatkan pasien pada posisi tegak (40-90°), yg memungkinkan klien ventilasi dalam dan pergerakan diafragma maksimal.

2. Kaji suara napas, pulse rate, status respirasi, saturasi oksigen sebelum medikasi diberikan.

3. Kaji heart rate selama pengobatan. Jika heart rate meningkat 20 kali permenit, hentikan terapi nebulizer. Pada pasien hamil, heart rate fetus harus dikaji

4. Instruksikan pasien utk mengikuti prosedur dengan benar. Lakukan perlahan, napas dalam dan tahan napas saat inspirasi puncak beberapa saat

Tahapan Prosedur

1. Berikan oksigen suplemen, dg flow rate disesuaikan menurut kondisi/keadaan pasien, pulse oximetry, atau hasil gas darah arteri. Inhalasi katekolamin dapat mengubah rasio ventilasi-perfusi paru dan memperburuk hipoksemia untuk periode singkat (Anderson, 1989 dalam Proehl, 1999).

2. Pasang nebulizer dan tube, dan masukan obat ke dalam nebulizer sesuai program.

3. Tambahkan sejumlah normal saline steril ke nebulizer sesuai program.

4. Hubungkan nebulizer ke sumber kompresi gas. Berikan oksigen 6-8 L/menit. Sesuaikan flow rate oksigen sampai kabut yang keluar sedikit/tipis. Jika terlalu kuat arusnya obat dapat terbuang sia-sia.

5. Pandu pasien untuk mengikuti tehnik bernapas yang benar

6. Lanjutkan pengobatan sampai kabut tidak lagi diproduksi

7. Kaji ulang suara napas, pulse rate, saturasi oksigen, dan respiratory rate.

8. Pemberian mungkin membutuhkan waktu selama 30-40 menit (Jhonson, 1990 dalam Proehl, 1999)

Komplikasi (umumnya karena efek samping obat), berupa:

1. Nausea

2. Vomiting

3. Tremor

4. Bronchospasme

5. Tachicardia

Daftar Pustaka

Proehl. (1999). Emergency nursing procedures. (2nd ed.). Philadelphia: W.B. Saunder Co.

Further Reading:

Anderson. (1989). The pharmacology of intervention for respiratory emergencies. Emergency care quarterly.

Jhonson. (1990). Principles of nebulizer-delivered drug therapy for asthma. American journal of hospital pharmacy.

AIRWAY POSITIONING

Oleh: Rohman Azzam, S.Pd., S.Kep., Ns


Tujuan

Untuk mempertahankan dan memelihara kepatenan jalan napas.

Untuk menghilangkan obstruksi parsial maupun total akibat kesalahan letak dimana lidah jatuh kebelakang pharynx dan/atau epiglotis setingkat larynx.

Indikasi

Diinsikasikan untuk klien tidak sadar dimana jalan napasnya tidak adekuat.

Kontraindikasi dan Perhatian

Pada pasien trauma yg tidak sadar atau pasien yang diketahui atau dicurigai mengalami cedera/trauma leher, maka kepala dan leher harus dipertahankan dalam posisi netral tanpa hiperekstensi leher. Gunakan jaw thrust atau chin-lift utk membuka jalan napas pd situasi tsb.

Positioning saja mungkin belum/tidak mencukupi untuk mencapai, mempertahankan dan memelihara jalan napas agar tetap terbuka. Intervensi tambahan, seperti suction atau intubasi, mungkin diperlukan.

Macam Airway Positioning

1. Head-tilt, chin-lift

2. Jaw thrust

3. Chin-lift

4. Sniffing position

Prosedur Airway Positioning ”Head-tilt, chin-lift

1. Letakan/tempatkan pasien dalam posisi supine/terlentang.

2. Angkat dagu ke depan untuk memindahkan mandibula ke depan sementara gerakan kepala pasien ke belakang dengan satu tangan yang berada di dahi (lihat gbr. 1). Manuver ini mengakibatkan hiperekstensi leher dan (kontraindikasi jika diketahui/dicurigai adanya trauma leher)

Prosedur Airway Positioning ”Jaw thrust” dan “Chin lift”

1. Jika manuver head-tilt, chin-lift tidak berhasil atau tidak dapat digunakan, maka lakukan jaw thrust atau chin lift.

2. Prosedur jaw thrust:

a. Letakan/tempatkan pasien dalam posisi supine/terlentang.

b. Angkat mandibula ke depan dengan jari telunjuk sambil mendorong melawan arkus zigomatik dengan ibu jari (lihat gbr. 2). Ibu jari memberikan tekanan berlawanan untuk mencegah pergerakan kepala saat mandibula didorong ke depan.

  1. Prosedur chin lift:

a. Letakan satu lengan (lengan kiri anda) pada dahi untuk menstabilkan kepala dan leher pasien.

b. Pegang/tangkaplah mandibula pasien dengan ibu jari dan jari lainnya (lengan kanan anda), kemudian angkat mendibula ke arah depan (ligar gbr. 3).

c. Keji kembali (kaji ulang) kepatenan jalan napas setelah dilakukan tindakan.

Pertimbangan Untuk Usia Tertentu

1. Untuk tindakan head-tilt, chin-lift pada bagi (infant), tempatkan satu lengan pada dahi bayi dan angkat kepala secara hati-hati ke belakang dalam suatu posisi netral. Leher akan sedikit ekstensi. Ini disebut sebagai sniffing position (lihat gbr. 4). Hiperekstensi pada leher bayi dapat menyebabkan gangguan atau obstruksi jalan napas. Tempatkan jari-jari di bawah bagian tulang dagu bawah, kemudian angkat mandibula ke atas dan ke luar. Perhatikan agar mulut tidak tertutup atau terdorong pada jaringan lunak di bawah dagu, karena dapat mengobstruksi jalan napas

2. Pada anak yang memperlihatkan gejala epiglottitis, seperti demam tinggi, drolling, distres pernapasan, dsb, jangan dipaksa pada posisi supine, yang akan menyebabkan obstruksi komplit jalan napas. Biarkan anak untuk memelihara/mempertahankan posisi nyaman sampai tindakan definitif pada jalan napas tersedia.

Komplikasi

Jika jalan napas terteap terobstruksi, suction perlu dilakukan, dan kemudian lakukan pemasangan OPA (oropharyngeal airway, misal: gudel) atau nasopharyngeal airway.

Cedera pada spinal dapat terjadi jika dilakukan pergerakan pada kepala dan/atau leher pada pasien dengan cedera servical.

Jika jari-jari anda menekan terlalu dalam jaringan lunak di bawah dagu, maka jalan napas akan terobstruksi.

Daftar Pustaka

Proehl, J.A. (1999). Eemergency nursing procedures. (2nd ed.). Philadelphia: W.B. Saunder Company.

Further Reading:

American Academy of Pediatrics & American College of Emergency Physicians. (1993). Advanced pediatric life support: The pediatric emergency medicine course. Dallas: Author.

American Heart Association. (1994). Basic life support for healthcare providers. Dallas: Author.

Emergency Nursing Association. (1993). Trauma nursing core course: Provider manual. (4th ed.). Park Ridge: Author.

KEGAWATAN PADA TRAUMA

Oleh Rohman Azzam

DEFINISI

Istilah “trauma” diambil dari kata Greek untuk menunjukan “luka”. Seringkali masyarakat umum cenderung mengasosiasikan kata “trauma” dengan suatu “krisis” seperti serangan jantung (heart attack) ataupun stress psikologis berat. Istilah tersebut sesungguhnya berkaitan dengan cedera pada tubuh (bodily injury) (Bucher & Melander, 1999).

Cedera traumatic merupakan penyebab nomor satu dari kematian pada usia dibawah 45 tahun dan penyebab ke empat kematian di US secara keseluruhan. Setiap tahun sekitar 150.000 orang meninggal sebagai akibat cedera baik yang secara sengaja maupun tidak dan merupakan problem utama kesehatan masyarakat di Amerika (Bucher & Melander, 1999).

Trauma mengenai orang disepanjang rentang hidupnya, dimana risiko tertinggi adalah pada kelompok usia antara 15 dan 24 tahun (Bucher & Melander, 1999) atau kelompok usia muda. Namun demikian kematian hanyalah salah satu dampak diantara dampak lainnya yaitukecacatan permanen dan berbagai tingkatan gangguan fisik lainnya. Setiap tahun sekitar 2.1 juta orang dirawat dirumah sakit untuk cedera traumatic. Biaya social yang diakibatkannya cukup besar yang dikeluarkan untuk perawatan medical (medical care), perawatan dirumah (nursing home care), rehabilitasi, kehilangan pendapatan/gaji, dan kerugian hak milik lainnya. Biaya real yang harus ditanggung oleh pasien dan keluarga berupa penderitaan manusiawi dan terganggunya lifestyle tidak dapat dihitung dengan dollar, tetapi harus dipertimbangkan sebagai akibat dari cedera/injury yang sangat berarti. Karena perawat adalah tangan pertama yang menghadapi kejadian traumatic yang sringkali dapat dicegah, maka mereka idealnya dipersiapkan untuk dapat membagi pemahamannya yang mendalam dengan klien dan masyarakat.

SISTEM PELAYANAN TRAUMA

Pusat trauma (trauma center) adalah fasilitas pelayanan spesial yang secara formal melakukan penilaian/mengevaluasi berdasarkan standar negara bagian, regional dan standar nasional dan memenuhi kriteria untuk memastikan pemberian pelayanan/perawatan pasien cedera secara kompeten dan bijaksana. Adalah penting untuk memahami bahwa tidak semua rumah sakit yang memberikan pelayanan gawat darurat 24 jam dapat dipertimbangkan sebagai pusat trauma. Sesungguhnya pusat trauma lebih didasarkan pada adanya kebutuhan yang merefleksikan komitmen institusi terhadap penyediaan sumber-sumber pelayanan trauma. Saat ini pusat trauma masyarakat merupakan turunan dari unit rumah sakit bedah militer yang mobile (mobile army surgical hospitals/MASH) di era konflik Vietnam dan Korea. Transportasi yang cepat dari medan perang ke pasilitas pelayanan trauma yang memiliki staf ahli bedah, staf keperawatan dan lainnya yang qualified yang dengan segera memberikan intervensi penyelamatan hidup secara dramatik menurunkan laju mortalitas dari prajurit yang cedera. Konsep pengorganisasian pelayanan dan sumber-sumber diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pasien trauma secepatnya, tetapi secara perlahan, berkembang pada rumah sakit civil yang dimulai pada 1960-an dan 1970-an.

Pada 1976, American College of Surgeon (ACS) mempublikasi panduan pertama untuk mengklasifikasikan pusat-pusat trauma di US. Namun demikian, tidak sampai 1980-an telah tumbuh menyebar pusat-pusat trauma di US. Penelitian dimulai untuk memvalidasi asumsi bahwa pusat trauma dapat menyelamatkan banyak kehidupan. Pada 1979 studi California memperlihatkan dengan jelas penurunan secara bermakna mortalitas karena injury ketika korban trauma ditangani pada pusat trauma, dan sangat berlawanan dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan oleh rumah sakit yg ada dimasyarakat. Pada 1990 fokus lebih pada pengembangan system trauma, dengan memperkenalkan pusat trauma yang memiliki mekanisme yang baik dalam mengangkut/mentransport pasien untuk mempermudah pengintegrasian kembali melalui pelayanan rahabilitasi yang tepat. Untuk memfasilitasi pengembangan system trauma di seluruh Amerika, Trauma Care Systems Planning and Development Act pada 1990 menyediakan pendanaan untuk membuat system trauma. Dalam 1992, US Public Health Service, Health Resources and Services Administration, menawarkan Rencana Model Sistem Pelayanan Trauma pada negara sebagai kerangka kerja umum untuk menciptakan system yang bersifat individual. Rencana yang telah diidentifikasi mewakili komponen system pelayanan trauma dengan melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan atau fasilitas yang dapat melibatkan sumber2 pelayanan trauma: kepemimpinan; pengembangan system; legislasi; pembiayaan; pemberian informasi dan pendidikan publik dan pencegahan; sumber baya manusia; pelayanan prehospital meliputi komunikasi, medical direction, triage, dan transport; pelayanan pasti yang mencakup fasilitas pelayanan trauma, trasnper antar fasilitas, rehabilitasi, dan evaluasi.

Panduan ACS meliputi tidak hanya standar bagi berbagai macam tingkatan pusat trauma, tetapi juga keseluruhan sistem pelayanan trauma sebagai digambarkan di Rencana Model Sistem Pelayanan Trauma. 4 tingkatan pusat-pusat trauma saat ini telah didefinisikan dan dikarakteristikan oleh ACS sbb: level I (kemampuan tertinggi), level II, level III dan level IV. Perawat sebagai penyedia pelayanan kesehatan, perlu memahami pelayanan trauma yang tersedia di masyarakatnya.

Pusat Trauma Tingkat I

Pusat trauma regional—dengan kemampuan menyediakan kepemimpinan dan pelayanan total untuk setiap aspek cedera, dari pencegahan sampai rehabilitasi. Kemampuan klinik yang membedakan pusat trauma level I dengan level lainnya meliputi bedah jantung, bedah lengan, bedah mikrovaskuler utk replanasi trauma berat anggota gerak, bedah umum, nuclear scanning, neuroradiologi, cardiopulmonary bypass, hemodialisis akut. Biasanya rumah sakit berbasis universitas atau rumah sakit pendidikan yang besar, bertanggung jawab untuk memperluas aspek klinik termasuk pendidikan trauma untuk semua level staf, penelitian, pencegahan cedera masyarakat dan perluasan program dan perencanaan system trauma. Kebanyakan pusat trauma level I terletak di area urban.

Pusat Trauma Tingkat II

Pusat trauma level II umumnya merupakan rumah sakit komunitas dengan kebutuhan yang sama untuk “pelayanan trauma definitif awal”, pendidikan trauma, dan pencegahan trauma.

Pusat Trauma Tingkat III

Pusat trauma level III menyediakan mata rantai kritis pada komunitas yang tidak mempunyai fasilitas level I atau II. Pada pusat ini, tujuannya adalah resusitasi dan stabilisasi awal yang cepat pada pasien dan kemudian mentransfer pusat trauma yang mempunyai kemampuan tinggi dengan berbagai sumber untuk memebuhi kebutuhan pasien. Dalam beberapa kasus, pembedahan mungkin diperlukan untuk menstabilkan pasien sebelum ditransfer. Pusat trauma level III harus mempunyai persetujuan tranfer dengan pusat trauma level I atau II dan harus menggunakan standar protocol penanganan untuk menajemen trauma. Bedah umum harus selalu tersedia.

Pusat Trauma Tingkat IV

Area rural atau jauh/terpencil yang tidak mempunyai akses pada pusat trauma level I, II atau III, atau bahkan dokter, maka klinik atau fasilitas dapat berperan sebagai tempat pertama untuk masuk ke dalam system trauma. Yang dibutuhkan bagi status pusat trauma level IV meliputi memiliki personel yang telah dilatih pada ATLS (advance trauma life support), atandar protocol penanganan dan persetujuan tranfer dengan pusat trauma yang memiliki kemampuan lebih tinggi.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GAGAL NAPAS

Oleh Rohman Azzam


PENGERTIAN

Gagal nafas adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan pertukaran O2 dan CO2 dalam tubuh yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (Heri Rokhaeni, dkk, 2001)

Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran O2 terhadap CO2 dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi O2 dan pembentukan CO2 dalam sel-sel tubuh sehingga menyebabkan PO2 <>2 > 45 mmHg (hiperkapnia) (Smeltzer, C Susane, 2001)

ETIOLOGI

Kerusakan atau depresi pada system saraf pengontrol pernafasan

o Luka di kepala

o Perdarahan / trombus di serebral

o Obat yang menekan pernafasan

o Gangguan muskular yang disebabkan

o Tetanus

o Obat-obatan

o Kelainan neurologis primer

Penyakit pada saraf seperti medula spinalis, otot-otot pernafasan atau pertemuan neuromuskular yang terjadi pada pernafasa sehingga mempengaruhi ventilasi.

o Efusi pleura, hemathorak, pneumothorak

Kondisi ini dapat mengganggu dalam ekspansi paru

o Trauma

Kecelakakan yang mengakibatkan cedera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan hidung, mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas dan depresi pernafasan

o Penyakit akut paru

Pneumonia yang disebabkan bakteri dan virus, asma bronchiale, atelektasis, embolisme paru dan edema paru

TANDA DAN GEJALA

Tanda

a. Gagal nafas total

o Aliran udara di mulut, hidung tidak terdengar / dirasakan

o Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta tidak ada pengemabngan dada pada inspirasi

b. Gagal nafas partial

o Terdengar suara nafas tambahan gargling, snoring, growing dan wheezing

o Ada retraksi dada

Gejala

o Hiperkapnia yaitu peningkatan kadar CO2 dalam tubuh lebih dari 45 mmHg

o Hipoksemia terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis atau PO2 menurun

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. BGA

Hipopksemia

o Ringan : PaO2 <>

o Sedang : PaO2 <>

o Berat : paO2 <>

b. Pemeriksaan rontgen dada

Untuk melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui

c. Hemodinamik: tipe I terjadi peningkatan PCWP

d. EKG

o Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan

o Disritmia

PENGKAJIAN

a. Airway

o Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas)

o Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing

b. Breathing

o Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea / bradipnea

o Menggunakan otot asesoris pernafasan

o Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis

o Pernafasan memakai alat Bantu nafas

c. Circulation

o Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi

o Sakit kepala

o Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk, gangguan mental (ansietas, cemas)

PENATALAKSANAAN MEDIS

  1. Terapi oksigen: pemberian oksigen rendah nasal atau masker
  2. Ventilator mekanik dengan memberikan tekanan positif kontinu
  3. Inhalasi nebulizer
  4. Fisioterapi dada
  5. Pemantauan hemodinamik / jantung
  6. Pengobatan: bronkodilator, steroid
  7. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sumbatan jalan nafas dan kurangnya ventilasi sekunder terhadap retensi lendir

Tujuan: jalan nafas efektif

Kriteria hasil:

o Bunyi nafas bersih

o Secret berkurang atau hilang

Intervensi:

a. Catat karakteristik bunyi nafas

b. Catat karakteristik batuk, produksi dan sputum

c. Monitor status hidrasi untuk mencegah sekresi kental

d. Berikan humidifikasi pada jalan nafas

e. Pertahankan posisi tubuh / kepala dan gunakan ventilator sesuai kebutuhan

f. Observasi perubahan pola nafas dan upaya bernafas

g. Berikan lavase cairan garam faaal sesuai indiaksi untuk membuang skresi yang lengket

h. Berikan O2 sesuai kebutuhan tubuh

i. Berikan fisioterapi dada

j. Berikan bronkodilator

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam interstitial / area alveolar, hipoventilasi alveolar, kehilangan surfaktan

Tujuan; pertukaran gas adekuat

Criteria hasil:

o Perbaikan oksigenasi adekuat: akral hangat, peningkatan kesadaran

o BGA dalam batas normal

o Bebas distres pernafasan

Intervensi:

o Kaji status pernafasan

o Kaji penyebab adanya penurunan PaO2 atau yang menimbulkan ketidaknyaman dalam pernafasan

o Catat adanya sianosis

o Observasi kecenderungan hipoksia dan hiperkapnia

o Berikan oksigen sesuai kebutuhan

o Berikan bantuan nafas dengan ventilator mekanik

o Kaji seri foto dada

o Awasi BGA / saturasi oksigen (SaO2)

c. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik

Tujuan: klien bebas dari cidera selama ventilasi mekanik

Intervensi:

o Monitor ventilator terhadap peningkatan tajam pada ukuran tekanan

o Observasi tanda dan gejala barotrauma

o Posisikan selang ventilator untuk mencegah penarikan selang endotrakeal

o Kaji panjang selang ET dan catat panjang tiap shift

o Berikan antasida dan beta bloker lambung sesuai indikasi

o Berikan sedasi bila perlu

o Monitor terhadap distensi abdomen

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET dengan kondisi lemah

Tujuan: klien tidak mengalami infeksi nosokomial

Intervensi:

o Evaluasi warna, jumlah, konsistensi sputum tiap penghisapan

o Tampung specimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi

o Pertahanakan teknik steril bila melakukan penghisapan

o Ganti sirkuit ventilator tiap 72 jam

o Lakukan pembersihan oral tiap shift

o Monitor tanda vital terhadap infeksi

o Alirkan air hangat dalam selang ventilator dengan cara eksternal keluar dari jalan nafas dan reservoir humidifier

o Pakai sarung tangan steril tiap melakukan tindakan / cuci tangan prinsip steril

o Pantau keadaan umum

o Pantau hasil pemeriksaan laborat untuk kultur dan sensitivitas

o Pantau pemberian antibiotik

e. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan kondisi tubuh tidak mampu makan peroral

Tujuan: klien dapat mempertahankan pemenuhan nutrisi tubuh

Intervensi:

o Kaji status gizi klien

o Kaji bising usus

o Hitung kebutuhan gizi tubuh atau kolaborasi tim gizi

o Pertahankan asupan kalori dengan makan per sonde atau nutrisi perenteral sesuai indikasi

o Periksa laborat darah rutin dan protein

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

2. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M, Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993

3. Hudak, Carolyn M, Gallo, Barbara M., Critical Care Nursing: A Holistik Approach (Keperawatan kritis: pendekatan holistik). Alih bahasa: Allenidekania, Betty Susanto, Teresa, Yasmin Asih. Edisi VI, Vol: 2. Jakarta: EGC;1997

4. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)

5. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)

6. Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar Ilmu Bedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC, 1998

7. Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001